Rabu, 26 Oktober 2016

RIWAYAT HIDUP SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH (Sultan Mahmud Syah III)


Berusia Dua Tahun Dinobatkan Menjadi Sultan
Suatu pristiwa yang menegangkan dan bersejarah dalam menentukan kelangsungan dan  jalan hidup-matinya Kerajaan Riau-Johor dan Pahang—setelah mangkatnya Sultan atau Raja (Yang Dipertuan Besar) Sulaiman Badrul Alamsyah—adalah  ditabalkannya (dilantiknya) Tengku atau Raja Mahmud yang berumur sekitar dua tahun menjadi Yang Dipertuan Besar (Sultan/ Raja) Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang bergelar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III. Selepas pelantikan itu maka seluruh pembesar kerajaan mulai dari Yang Dipertuan Muda, Bendahara, dan Indra Bungsu serta segenap rakyat kerajaan menjunjung duli kepada Sultan Mahmud Syah III. Penobatan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Maka terjadilah pertemuan antara pihak bugis dengan melayu berkenaan dengan penganti Sultan Ahmad sebagai Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-dan Pahang dan daerah takluknya. Telah terjadi perdebatan antara pihak bugis (dibawah pimpinan Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja) dan Raja Haji (Engku Kelana) dengan pihak melayu dengan pimpinan, Datuk Bendahara Temenggung.
Tentang penobatan tersebut dijelaskan  Raja Ahmad dan Raja Ali Haji dalam buku sejarah Melayu Tuhfat al-Nafis (1865) yang dialih-bahasa ke dalam Inggris oleh Virginia Matheson Hooker (1991) dan diterjemahkan oleh Ahmad Fauzi Basri. Syahdan apabila keesokan hari maka berkumpullah segala raja-raja suku Melayu serta (Datuk Bendahara Temenggung semuanya ke balai serta) berkain lepas, dan berpendawa semuanya, dan Bugis-bugis dengan anak rajanya pun datang pula berkumpul, dengan memakai seluar sampak bertondera batung semuanya, berpendawa juga dengan kelewangnya dan halamangnya. Maka duduklah bersebelahan Bugis-bugis dengan Melayu itu. Maka Yang Dipertuan Muda dan Raja Haji serta anak-anak raja Bugis sekalian duduklah bertentangan dengan raja Melayu itu. Maka yang Dipertuan Muda pun memandang-mandang berkeliling-keliling, maka dilihat olehnya Dahing Cellak dan Dahing Kecik dan Engku Muda adik-beradik, duduk berdekat-dekat dengan Datuk Temenunggung semua. Maka bertitahlah Yang Dipertuan Muda kepada anak raja ketiga itu titahnya, “Cellak dan  Kecik dan Muda, mari engkau ke mari sebelah aku semua di sini.” Maka Dahing Cellak dan Dahing Kecik pun adik-beradik beralihlah pihak sebelah Yang Dipertuan Muda itu, karena ia putera Raja Maimunah konon.
Seketika lagi maka Yang Dipertuan Muda (pun) naiklah ke istana lalu didukungnya Raja Mahmud, dibawanya turun (ke balai) lalu diribanya di atas singgahsana. (Syahdan pada satu kaul orang tua-tua adalah menjulangnya itu satu anak baik daripada keturunan Bugis yang empat puluh, yang bernama To Kubu adanya). Setelah anak raja-raja Bugis melihat yang demikian itu, maka ia pun (masing-masing) memegang hulu kerisnya. Maka Yang Dipertuan Muda pun bertitah(lah), “Barang tahu kiranya suku-suku (sebelah) Melayu, dan sebelah Bugis, bahawa sesungguhnya inilah raja Johor, dengan segala takluk daerahnya yang diangkat oleh Bugis (sebagaimana mengangkat nendanya Marhum Batangan, dan ia pun demikian jua). Maka barang siapa (yang) tiada membetuli aturan ini, maka pada hari /inilah/ (dan waktu) inilah (kita) berhabis-habis.” Maka lalu(lah) ia mengunus halamangnya.
Maka Datuk Bendahara berkata, “jikalau sudah patut (ke)pada abang semua (sebelah Bugis), Raja Mahmud ini menjadi raja Johor (dengan segala takluk daerahnya) maka saya semua pun sertalah, (karena semunya pun anak cucu marhum juga, semuanya patut saya sembah).” Maka jawab Yang Dipertuan Muda, “Jikalau sudah begitu (Orang Kaya), al-hamdu li’llah sama-sama betul mufakat (antara kita kedua pihak.” Maka lalu disarungnya halamangnya). Maka lalu diajak (oleh Yang Dipertuan Muda) antara kedua pihak /itu/ bersama-sama menjunjung duli.Maka menjunjung dulilah kedua pihak (Melayu dan Bugis itu). Kemudian baharu(lah) bersetia pula, (seperti setia Marhum yang Mangkat di Sungai Baru. Maka setelah selesai/lah daripada itu maka/ titah Yang Dipertuan Muda, “Bacalah fatihah.” Maka dibacalah fatihah oleh imam akan fatihah dan doa. Maka habislah pekerjaan itu maka kembalilah antara kedua pihak Bugis dan Melayu itu (Metheson Hooker, 1991:320-322).
Penobatan Raja Mahmud yang masih kanak-kanak itu menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, menyusul kegentingan kepemimpinan tertinggi, tiada lagi sosok atau figur dewasa sebagai zuriat langsung dari Sultan untuk menduduki tahta kesultanan. Ini dikarenakan setelah mangkatnya Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang sepatutnya digantikan oleh putranya sendiri yakni Abdul Jalil, namun belum sempat ditabalkan, juga meninggal dunia. Atas wafatnya Abdul Jalil, maka sebagai penggantinya dilantiklah Raja Ahmad menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, yang usianya kala itu sekitar Sembilan tahun. Namun musibah kembali terjadi menimpa kerajaan ini, Sultan Ahmad yang baru ditabalkan menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar itu, jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia pula. Selepas meninggalnya Sultan Ahmad tersebut, maka muncul keinginan dari pembesar kerajaan dan sebagian masayarakat agar sultan yang akan ditabalkan adalah seorang yang sudah dewasa, baik dari sebelah Melayu atau dari pihak Bugis. Dengan adanya pendapat dan keinginan semacam itu, maka telah menimbulkan persoalan di kalangan istana, dan bila-bila waktu  bisa terjadi perang saudara. Maka itulah Yang Dipertuan Muda III Riau, Daeng Kamboja tidak mau ambil resiko akan terjadi perpecahan dan apatah lagi perang saudara. Dengan keyakinannya, maka ia pun melantik atau menabalkan Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang. Waktu itu usia Raja Mahmud baru sekitar dua tahun, yang penabalannya sebagaimana dijelaskan di atas.
Agar lebih dapat dipahami serangkaian kejadian sehingga dilantiknya Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar tersebut, dalam bagian ini perlu dijelaskan lebih lanjut. Buyong Adil menjelaskan, Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyahpada bulan Agustus 1760 telah menyuruh Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan putra bagindasendiri yaituRaja Abdul Jalil (Raja di-Baroh) pergi ke Rembau mengambil Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja untuk dibawa balik ke Riau (Hulu Sungai Carang, Pulau Bintan) agar dapat menjalankan tugas-tugas yang  berkaitan dengan pemerintahan negeri selaku Yang Dipertuan Muda. Namun, setelah ketiga-tiga orang itu meninggalkan Riau, Sultan Sulaiman pun jatuh gering (jatuh sakit). Pada masa itu juga Engku Putih (anak Daeng Celak), istri Raja Abdul Jalil atau Raja di Baroh yang tinggal di Riau itu, bersalin (melahirkan) seorang putra yang diberi nama Raja Mahmud.Sedangkan putra beliau yang sulung bernama Raja Ahmad masih kanak-kanak lagi, belum baligh.
Kemudian, lanjut Buyong Adil rombongan Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan Raja Abdul Jalil sampai ke Pedas (Rembau).Mereka segera menyampaikan titah Sultan Sulaiman kepada Daeng Kamboja agar balik ke Riau. Rombongan beberapa hari di Pedas. Daeng Kamboja menyetujui untuk balik ke pusat pemerintahan kerajaan di Riau (Hulu Sungai Carang, Pulau Bintan) dan menyetujui pula Raja Abdul Jalil mengikut Raja Selangor pergi melawat ke Selangor (Kuala Selangor). Akan tetapi, dengan tak disangka-sangka, setiba di Selangor, Raja Abdul Jalil telah jatuh gering, demam, dan beliau diam di istana Raja Lumu itu. Sementara Sultan Sulaiman di Riau yang sedang gering, semakin bertambah gering (sakit)  pula.Akhirnya pada 1760, itu  Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah pun mangkat di Riau dalam usia lebih kurang 60 tahun. Kala itu Daeng Kamboja dan Raja Haji masih di Rembau (Pedas) dan putra almarhum, Raja Abdul Jalil  yang dikenal sebagai Raja di-Baroh yang telah ditentukan bakal menggantikan almarhum berkerajaan atau menjadi Sultan (Yang Dipertuan Besar) Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, sedang gering (sakit) di Selangor (Kuala Selangor).
Dalam keadaan demikian, dijelsaskan Buyong Adil maka Bendahara pun mengantarkan utusan pergi memberitahukan hal itu (meninggalnya ayahandanya, yakni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) kepada putra almarhum, yakni  Raja Abdul Jalil di Selangor, serta kepada Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di Pedas (Rembau). Berita duka cita itu disampaikan juga kepada Raja Selangor (Raja Lumu, yang tak lain adalah adik Raja Haji) di Selangor. Dengan kehendak Allah, kira-kira lima bulan kemudian Raja Abdul Jalil yang sedang berada di Selangor itupun secara tiba-tiba mangkat pula.  Beliau wafat sebelum menduduki tahtanya di Riau.Jenazah beliau pun disiapkan di Selangor.Selepas itu dibawa dengan adat-istiadatnya ke tempat Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di Pedas (di Rembau). Dari Pedas, dengan istiadatnya pula, jenazah itu dibawa oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji dalam suatu rombongan besar 45 buah perahu balik ke Riaupada Februari 1761. Rombongan disambut dengan adatnya di Riau (Hulu Sungai Carang).
Setiba di Riau, jelas Buyong Adil, maka Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja serta orang besar-besar Bugis di Riau—sebelum Sultan Abdul Jalil dimakamkan—maka dilangsungkan acara adat kerajaan, yakni merajakan (menabalkan, menobatkan atau melantik) Raja Ahmad, putra sulungnya menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan Riau-Johor-Pahang dan daerah takluknya, dan digelar Sultan Ahmad Ri’ayat Syah. Pada masa itu, usia Raja Ahmad lebih kurang sembilan tahun dan adindanya yang bernama  Raja Mahmudmasih kecil (kanak-kanak, berusia sekitar 2 tahun). Selepas itu, barulah  jenazah almarhum Sultan Abdul Jalil[1] dimakamkan di kawasan pemakaman

ayahandanya, Marhum Batangan (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) di Kampung Bulang, Hulu Riau (Hulu Sungai Carang), Pulau  Bintan.
Duka-cita betul-betul datang bertubi-tubi atas Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, karena tidak lama selepas mangkatnya Abdul Jalil, dan dilantik putanya Raja Ahmad menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar, maka sang ibunda atau isteri almarhum Sultan Abdul Jalil yang bernamaEngku Putih binti Daeng Celak mangkat pula, dan  dimakamkan di pemakaman Kampung Bulang tersebut. Dengan demikian maka Raja Mahmud dan kakandanya Sultan Ahmad Ri’ayat Syah menjadi yatim piatu.Maka keduanyapun berada dalam pengasuhan keluarga suku Melayu di Kampung Bulang dan dalam tanggungjawab Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja bersama Engku Kelana Raja Haji ibni Daeng Celak. Raja Mahmud dipelihara oleh emak saudaranya (bibinya) Engku Hitam (adik Engku Putih), Raja Aminah, dan Raja Halimah (adik Raja Haji). (Adil, 1971:122-125).
Dalam waktu singkat Raja Ahmad menjadi Yang Dipertuan Besar, dan dia pun meninggal dunia pula. Atas kejadian itu sebagaimana dijelaskan di atas, maka Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja dengan yakin dan percaya diri menobatkan Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Riau-Johor dan Pahang, sebagai mengganti Raja Ahmad. Dapat ditegaskan, bahwa Daeng Kamboja selaku Yang Dipertuan Muda III Riau tampil melantik atau menabalkan Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Riau-Johor dan Pahang, untuk membuktikan kepada para pembesar kerajaan dan segenap masyarakat, bahwa hal itu sebagai bukti tetap berpegang teguh dan setia atas “Sumpah Setia Melayu-Bugis” sejak  tahun 1722, yang  ibarat “Mata hitam dan Mata putih”. Sumpah setia itu mempertegas bahwa yang menjadi pimpinan tertinggi kerajaan, dihormati sebagai Mahaduli adalah Sultan atau Yang Dipertuan Besar (dijabat oleh pihak Melayu) dengan petinggi di bawahnya yang Yang Dipertuan Besar (dijabat oleh Bugis), Bendahara dan Indra Bungsu (juga Melayu). Daeng Kamboja ingin sumpah itu tetap dipertahankan dan diwujudkan, sehingga tak jadi soal berumur berapapun seseorang yang dilantik dan menduduki singgasana kesultanan. Maka itulah, Raja Ahmad yang masih berusia sekitar Sembilan tahun dilantik, dan setelah meninggal maka adiknya yang bernama Raja Mahmud yang masih berumur sekitar dua tahun dilantik menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar.


 Pendidikan dan Pematangan Kepribadian

Raja Mahmud sejak kecil sudah menampakkan tanda-tanda kelak akan menjadi orang besar. Apa-apa asuhan emak saudara (bibi)-nya, juga Daing Kamboja dan Raja Haji (ayah saudara/pamannya), menjadi penting bagi pertumbuhkembangannya sehingga mencapai kanak-kanak sampai remaja atau akil balig. Tentulah kepadanya sudah diberikan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama dan pemerintahan, karena beliau putra seorang sultan (raja) dan telah pun ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pendidikan agama Islam sudah didapatinya dengan baik ketika  masih kanak-kanak, karena di pusat kerajaan di Hulu Sungai Carang, Bintan, dilangsungkan pula pendidikan-pendidikan agama Islam oleh guru-guru agama atau ulama, baik di istana maupun di masjid atau surau.
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai kelanjutan dari Kerajaan Melayu-Islam  Melaka. Oleh sebab itu, sudah menjadi keniscayaan bahwa kerajaan inipun bercorak Islam, yang pendidikan bagi anak-anak sultan atau raja-raja dan rakyat sekaliannya ditekankan pada pendidikan bersendikan Islam. Pendidikan ketauhidan, syariah, dan muamalah diberikan di dalam istana dan rumah-rumah ibadah berupa langgar, surau, masjid dan rumah wakaf.Sejalan dengan itu, pendidikan tentang pemerintahan dan ketentaraan pun diberikan pula karena untuk kelangsungan kedaulatan negeri dari berbagai musuh, khususnya Belanda. Dengan demikian, tak mengherankan bila setiap sultan atau raja mempunyai semangat juang yang membaja, tak tergoyahkan oleh bujuk rayuan pihak musuh, khususnya Belanda. Pada akhirnya, setiap derap perjuangan dalam mempertankan kedaulatan negeri, tiada lain tersebab panggilan berjuang di jalan Allah, yang dikenal dengan fi sabilillah, yang pada gilirannya sudah menjadi pilihan bila akhirnya gugur sebagai syuhada atau syahid fi sabilillah.
Niscayalah pendidikan semacam itulah yang diberi dan ditanamkan oleh Yang Dipertuan Muda III Riau, Daing Kamboja dan Kelana Raja Haji kepada Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah, sewaktu kanak-kanak sehingga akil balig. Kala itu, Yang Dipertuan Muda dan Kelana Raja Haji telahpun pula mencontohkan langsung kepada Baginda Sultan yang masih belia itu bagaimana memimpin dan mengelola pemerintahan demi kemajuan, kemakmuran, dan kejayaan kerajaan (negeri dan masyarakat). Terlebih lagi, marwah negeri dan pemerintahan mesti ditegakkan meskipun dengan taruhan jiwa dan raga. Berhadapan dengan musuh kerajaan, terutama Belanda, tiada ubahnya berhadapan dengan musuh Allah sehingga tak akan pernah ada kata kompromi, apalagi mau ditaklukkan. Sikap dan kata yang pasti hanya satu, berjuang sebagai perlawanan dengan niat di jalan Allah, fi sabilillah. Itulah ajaran dan didikan yang memang telah melembaga di kalangan adat-istiadat Diraja Melayu-Islam.
Kepribadian Sultan Mahmud Riayat Syah  tentulah amat berbeda dan jauh lebih maju, matang, mahir (piawai), dan hebat (tangguh) bila dibandingkan dengan sultan-sultan dalam kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebelumnya. Baginda sejak kecil (kanak-kanak) lagi sudah berkedudukan sebagai Yang Dipertauan Besar, Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang. Pendidikannya diberikan  langsung oleh Yang Dipertan Muda III Riau, Daing Kamboja, Kelana Raja Haji, dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya seperti Datuk Bendahara, Temenggung, dan Indra Bungsu. Di samping itu, tentulah Baginda juga dididik oleh sejumlah cerdik-pandai atau ulama dalam perkara agama Islam.Kepribadiannyapula mendapat tempaan dari beberapa ibunda saudaranya, yang terutama Engku Hitam, saudara kandung ibundanya yang telah mangkat.
Berlangsungnya pendidikan dalam segala bidang di dalam istana sudah menjadi kelaziman di dalam kerajaan-kerajaan Islam nusantara ketika itu. Karena penguasa-penguasa atau pembesar-pembesar kerajaan menjadi peneraju penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam, tak terkecuali pendidikannya, Islam menjadi agama yang sepenuhnya diyakini dan diamalkan oleh segenap rakyat kerajaan. Peran dan pengaruh penguasa menjadi sangat penting dan dominan di dalam syiar Islam tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (2), peran penguasa kerajaan-kerajaan Islam di nusantara sangat besar dalam penyebaran agama Islam.Sejak abad ke-17 dapat dikatakan bahwa Islam telah menyebar ke seluruh penjuru nusantara melalui berbagai saluran seperti perdagangan, perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren), mistik cabang-cabang seni, dan lain-lain (1994:215—216).     
Dengan kata lain, pendidikan yang berlangsung bagi anak-anak bangsawan dalam kerajaan Islam, terutama berlangsung di istana.  Pendidikan  Islam, terutama, berlangsung di langgar. Pengajaran di langgar merupakan pengajaran agama permulaan. Anak-anak dididik pada awalnya mempelajari abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat Al-Quran. Berbagai pengetahuan dasar agama diajarkan pula, terutama tentang ibadah dan akhlak. Langgar, bukan pula hanya sebagai tempat pendidikan agama, melainkan sekaligus sebagai lembaga sosial yang memiliki peranan penting di dalam membentuk karakter dan kepribadian anak-anak. Rasa kebersamaan dan kesetiaan akhirnya menjadi terpupuk dan tumbuh di antara anak-anak, yang lambat laun menyadari bahwa mereka telah menjadi anggota kebersamaan (kelompok) yang besar, yakni Islam.
Bila demikian halnya, menjadi jelaslah bahwa pendidikan yang didapati Sultan Mahmud Riayat Syah, niscayalah terutama dari lingkungan istana.Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah satu di antara kerajaan yang besar di nusantara, sebagai kerajaan yang melekat dengan adat-istadat Melayu. Apabila Islam telah menjadi agama kerajaan dan segenap rakyatnya, maka kerajaan telah mengambil Islam sebagai agama yang mematrikan sendi-sendi Melayu dengan Islam sebagai satu dan kesatuan. Oleh karena itu, sudah barang tentu menjadi wujud ajaran Islam di dalam pelaksanaan pemerintahan dan demikianlah pula di dalam pendidikannya. Niscayalah, Daing Kamboja, Raja Haji, dan para ibundanya sudah melatih Sultan Mahmud Riayat Syah  untuk melakukan berbagai perkara bagi dirinya secara pribadi, pemerintahan, ekonomi, perperangan, dan sebagainya. Di dalam keluarga, pelatihan itu penting sehingga ketika anak telah dewasa, dia akan berbuat sebagaimana patutnya. Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas menegaskan, yang menekankan sangat mustahaknya pelatihan bagi anak-anak, Apabila anak tidak dilatih/Jika besar bapanya letih. Tak ada keraguan, bahwa Mahmud  sudah dididik dengan pendidikan umum dan agama Islam dan sudah pula dilatih dengan  sebaik-baiknya, terutama oleh Daing Kamboja dan Raja Haji sehingga pantaslah akhirnya Baginda menjadi sultan terbesar dan sukses di antara jajaran sultan Kerajaan Melayu Bintan, Melaka, hingga Riau-Lingga.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, dapat dikaitkan dengan pendapat  Parsudi Suparlan dan S. Budhisantoso dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya.Menurut kedua pakar itu, yang membedakan orang Melayu dari golongan-golongan penduduk lainnya di nusantara, terutama di masa lampau, adalah pola kehidupannya yang berorientasi kepada kelautan, agama Islam sebagai pedoman  utama dalam kehidupan mereka, dan kelonggaran dalam struktur-struktur  sosialnya. Karena orientasi kehidupan mereka dan karena kedudukan komunitas-komunitas mereka di pantai yang merupakan daerah terdepan dari berbagai kontak hubungan dengan dunia luar, orang Melayu itu pula yang sebenarnya paling awal mengenal agama Islam. Oleh karena itu, ajaran-ajaran agama Islam dapat meresap dalam tradisi-tradisi yang berlaku dan menyelimuti berbagai upcara-upacara dan tindakan-tindakan simbolik yang pada dasarnya bukan Islam.Kedudukan mereka yang berada di garis terdepan dalam berbagai kontak kebudayaan dengan dunia luar yang berlangsung secara terus-menerus, termasuk kontak-kontak dengan dunia Islam, mempermudah penyebaran agama Islam dalam kehidupan orang Melayu (1986:1).

Bagi Sultan Mahmud Riayat Syah, niscayalah sejarah panjang Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak Kerajaan Bintan, Temasik, lalu Melaka, kemudian di Bintan, ke Kampar, dan di Johor, menjadi bacaan penting bagi mata hati dan pikirannya.Bagaimana pasang-surut, turun-naik, jatuh-bangun kerajaan Melayu ini akibat terjadinya sengketa, perebutan kekuasaan, dan perang saudara di antara anak-anak atau keturunan raja dan perperangan dengan Portugis dan Belanda, telah memberi pemahaman yang mendalam bagi pikiran, sikap, dan tindakan Mahmud  sebagai Yang Dipertuan Besar, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Demikianlah pula perihal acapkali muncul atau terjadinya perselisihan, silang-sengketa, yang menyangkut perkara kekuasaan dan harta-benda antara pihak Melayu dengan pihak Bugis dan puak-puak lainnya di dalam kerajaan, menjadi tempaan dan pemikiran tersendiri pula oleh Sultan Mahmud. Mentelah lagi, perkara kepicikan Belanda terhadap lawan-lawannya senantiasa mengiming-imingi dengan berbagai janji dan melakukan perjanjian, tetapi senantiasa tiada ditepati oleh Belanda. Beliau akhirnya menjadi paham benar tentang akal bulus, niat busuk, dan siasat licik Belnda. Beliau niscayalah mempunyai pemikiran dan sikap untuk mengambil kebijakan dan tindakan agar perkara-perkara yang tiada patut dan dapat merusak kedaulatan negeri itu dapat diakhiri dan berjalan dengan penuh persaudaraan, kekeluargaan, damai, dan tenteram. Kelak Sultan Mahmud Riayat Syah pun mengukuhkan kembali perjanjian atau Sumpah Setia Melayu-Bugis dan memberi taman-laman hidup dan kehidupan kepada berbagai puak, antara lain orang Cina, di dalam Riau dan daerah takluknya. Menjadi jelaslah pula bahwa beliau telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa di dalam pembauran dan perbauran kebangsaan.

Hubungan Darah dengan Raja Haji Fisabilillah
Sebelum sampai kepada wujudnya hubungan persaudaraan atau hubungan darah antara Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji, diperIkan terlebih dahulu hubungan dan persebatian suku Melayu dengan suku Bugis di alam Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Bermula ketika pusat kerajaan berada di Hulu Riau, Sungai Carang, Bintan. Kala itu yang menjadi sultan adalah Raja Kecik (l), yang mengambil-paksa tahta kerajaan dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (yang sebelumnya adalah bendara). Anak sultan, yakni Tengku Sulaiman, pada akhirnya hendak merebut kembali tampuk pimpinan kerajaan dari tangan Raja Kecik. Dalam rangka mengambil-alih lagi pimpinan kerajaan itu, Tengku Sulaiman minta bantuan bersekutu dengan bangsawan-bangsawan Bugis.[1]Itulah awal-mula terjadinya hubungan baik, bukan


             [1] Tentang hal ini dijelaskan banyak sumber, antara lain Abdul Kadir Ibrahim, dkk., dalam Aisyah Sulaiman Riau Pengarang & Pejuang Perempuan. Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, yang dalam tahun 1719 memindahkan pusat pemerintahan dari Johor ke Riau lagi.Pada bagian lain, keturunan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, yakni Tengku Sulaiman berupaya untuk merebut kembali tahta dan kekuasaan dari tangan Raja Kecil. Sampai kemudian, dia minta bantuan kepada lima bangsawan Bugis asal Luwu, yakni Daing Perani, Daing Marewah, Daing Celak, Daing Menambun, dan Daing Kemasi. Akhirnya terjadilah perperangan antara Tengku Sulaiman yang dibantu bangsawan Bugis dengan Raja Kecil. Bangsawan Bugis tersebut sampai bersedia membantu Tengku Sulaiman berperang melawan Raja Kecil, dengan alasan hendak membebaskan Kerajaan Johor dan mengembalikannya kepada sultan yang lebih berhak, yakni Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.
                   Atas bantuan lima bangsawan Bugis, akhirnya dalam tahun 1722, Tengku Sulaiman pun berhasil merebut kekuasaan dari Raja Kecil, yang kedmudian pada tanggal 4 Oktober 1722 dilantik menjadi Sultan Riau dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Bersamaan dengan itu, Daing Marewah pun diberi kehormatan memangku jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, sehingga Riau “dipimpin” oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Yang Dipertuan Muda Daing Marewah (2004:6-7).

              hanya sebagai sesama manusia, melainkan juga secara resmi dalam tali ikatan menerajui pemerintahan kerajaan antara orang Melayu dan orang Bugis. Sejak saat itu pulalah—sebagaimana dijelaskan di atas—dalam kerajaan Melayu adanya pimpinan bernama Yang Dipertuan Muda sebagai pendamping atau orang kedua di samping Yang Dipertuan Besar, Sultan. Hubungan antara kedua suku itu, terikat penuh persaudaraan, yang ikatan utamanya adalah Islam dan demi kebaikan kerajaan, negeri, dan segenap rakyat. Menurut U.U. Hamidy dalam Masyarakat dan Kebudayaan di Daerah Riau, penduduk Riau ini telah memperlihatkan pula bagaimana masyarakat Melayu di rantau ini mempunyai sikap dan tingkah laku terhadap suku bangsa dan etnik lainnya dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Bagaimana pihak Kerajaan Riau-Johor-Lingga-Pahang menerima kehadiran bangsawan Bugis di Kerajaan Melayu itu cukup menarik. Setelah melalui pergaulan sosial begitu rupa, mereka tak hanya sekadar memperoleh kelapangan kehidupan dalam arti yang praktis saja, tetapi juga hal-hal lain, sebagaimana layaknya mereka di negeri asalnya. Itulah sebabnya, pihak bangsawan Bugis itu telah diberi kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau. Setelah terjadi perbauran melalui nikah-kawin antara pihak Bugis dan kaum kerabat Kerajaan Melayu, keturunan mereka telah tampil dengan citra Melayu (1990:20—21).
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa apa-apa yang diikhtiarkan dan dirancang oleh Kompeni Belanda untuk mempertentangkan suku Melayu dengan suku Bugis, antara lain menjadi salah satu isi perjanjian, sama sekali tiada berujud dan gagal dijalankan. Pihak Melayu, dalam hal ini, Sultan Mahmud Riayat Syah, takkan melakukannya. Dengan kata lain, sangat tak masuk akal bila Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah bermusuhan dengan Raja Haji dan selepas itu dengan Raja Ali. Bagaimana mungkin? Pasal, Raja Haji adalah ayah saudara (paman) Sultan Mahmud Riayat Syah. Lengkapnya, dapat dijelaskan bahwa Raja Mahmud—yang bergelar Mahmud Riayat Syah—adalah anak Sultan Abdul Jalil ibni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan ibundanya Engku Putih binti Daing Celak (Yang Dipertuan MudaII Riau).Adapun anak Daing Celak yang laki-laki, antara lain, Raja Lumu dan Raja Haji, sedangkan anaknya yang perempuan adalah Engku Putih dan Engku Hitam.Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa ibunda Sultan Mahmud Riayat Syah III, Engku Puteh, dan Raja Haji adalah adik-beradik. Jelasnya, Raja Haji dan Engku Putih adalah anak Daing Celak dengan isterinya Tengku Mandak binti Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Dengan demikian, kedua orang datuk (kakek) Sultan Mahmud Riayat Syah adalah orang besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yakni dari sebelah ayahnya adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan dari sebelah ibunya pula adalah Yang Dipertuan Muda II Riau Daing Celak.
              Dengan demikian, nyatalah Raja Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah berhubungan darah, bersaudara, yakni Raja Haji adalah ayah saudara (paman) Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Riayat Syah  adalah anak saudara (keponakan) Raja Haji. Oleh sebab itu, tak heranlah kita bahwa Raja Haji sangat sayang kepada anak lelaki dari saudara perempuannya  Engku Putih itu. Sudah barang tentu pula Raja Haji sebagai ayah saudara akan memberikan perhatian, kasih-sayang, didikan, bimbingan, dan perlindungan penuh dan sebaik-baiknya kepada Sultan Mahmud Riayat Syah yang yatim-piatu. Siapakah yang tak akan senang dan bangga jika keponakannya menjadi orang besar dan berhasil menjayakan kerajaan, yang dalam hal ini sebagai Sultan Kerajaan Melayu RayaRiau-Lingga-Johor-Pahang serta daerah-daerah takluknya?
Perkara penting terkait Raja Haji dan hubungannya dengan Raja Mahmud (Sultan Mahmud Riayat Syah) adalah perbauran atau percampuran darah antara Melayu dan Bugis.Dipermaklumkan di kalangan Melayu dan Bugis bahwa pada diri Raja Haji sudah tak dapat dikatakan sebagai sebenar-benarnya Bugis, tetapi juga sudah juga menjadi orang Melayu. Pasal, ayahandanya Daing Celak menikah dengan Tengku Mandak, saudara perempuan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sesuai dengan adat Melayu, anak dari pernikahan bangsawan Bugis dan bangsawan Melayu tak lagi menggunakan gelar daing.Oleh sebab itu, Haji tak menggunakan gelar daing, tetapi gelar raja sehingga yang melekat pada namanya secara lengkap Raja Haji sebagaimana lazimnya orang besar-besar bangsawan, keturunan sultan-sultan Melayu. Menurut Hasan Junus, tiga orang raja muda atau Yang Dipertuan Muda Riau sebelumnya yaitu Daing Marewah, Daing Celak, dan Daing Kamboja masih belum bercampur darah dengan pihak Diraja Riau. Barulah pada Raja Haji persemendaan (perkawinan silang) antara Melayu dan Bugis menjadi bersebati karena beliaulah Raja Muda pertama Riau yang berdarah campuran. Oleh sebab itulah, gelar kebangsawanannya bukan lagi daing, melainkan raja. Dalam hal ini, Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (Sultan Mahmud Riayat Syah, Pen.) ialah kemanakannya dari pihak bapa. Beliau (Raja Haji) merupakan Yang Dipertuan Muda Riau yang paling luas diterima oleh rakyat dibandingkan dengan ketiga Yang Dipertuan Muda sebelumnya karena asal keturunannya yang terdiri atas pertautan dua keturunan Melayu dan Bugis (2000:9 dan 29).
Sultan Mahmud Riayat Syah juga mempunyai pertalian darah atau persaudaraan dengan Daing Kamboja Yang Dipertuan Muda III Riau. Hubungan itu adalah ayah Daing Kamboja, Daing Perani, adalah saudara kandung Daing Celak Yang Dipertuan Muda II Riau (ayah Raja Haji). Raja Haji pula adalah saudara kandung Engku Putih, ibunda Sultan Mahmud Riayat Syah.Dengan demikian, Sultan Mahmud Riayat Syah terhitung atau termasuk anak saudara (keponakan) dari Daing Kamboja atau sebenarnyalah Daing Kamboja adalah juga paman Sultan Mahmud. Dengan demikian, amatlah masuk akal bila Daing Kamboja Yang Dipertuan MudaIII Riau dan Kelana Raja Haji menempatkan Sultan Mahmud pada kedudukannya sebagai Yang Dipertuan Besar, Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang pada kedudukan sebagaimana patutnya.[1]


            [1] Tentang pertalian atau hubungan darah atau persaudaraan secara zuriat atau keturunan yang dekat dan rapat antara Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) dengan Daing Celak (Yang Dipertuan Muda Riau II), Daing Kamboja (Yang Dipertuan Muda Riau III), Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau IV),  Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Riau V) dan Raja Jaafar (Yang Dipertuan Muda Riau VI) dapat dilihat dalam sumber terdekat adalah sumber Nusantara, yakni Tuhfat al-Nafis (terbit tahun 1865)yang disusun awal oleh Raja Ahmad dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji—dan sumber luar negeri, pihak Belanda, yakni Belanda di Johor dan Siak 1602-1865 (terbit tahun 1870)oleh E. Netscher yang diterjemahkan (2002) oleh Wan Ghalib. Sumber-sumber atau buku-buku tentang hal ini, sudah ditulis oleh banyak orang (penulis) baik di Indonesia, Malaysia, Singapura maupun dari beberapa negara di dunia.

Wafatnya Daeng Kamboja dan Raja Haji

         Pada tahun 1777 Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Haji sebagai Yang Dipertuan muda Riau IV. Pada waktu itu Sultan atau Yang Dipertuan Besar Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud Syah III) sudah berusia 17 tahun.Sedangkan masa kekuasaannya atau menduduki jabatan sebagai Sultan atau Yang Diertuan Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang sudah berlangsung selama lebih 16 tahun.Sultan Mahmud Syah III bersama Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji semakin meningkatkan kemajuan pengeloaan negeri dan kekuatan pasukan perang.Peningkatan kemajuan dan kemakmuran masyarakat menjadi perkara penting yang dilakukan oleh beliau yang disokong oleh Yang Dipertuan Muda, Bendahara dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya baik di Johor maupun di Pahang.Sehingga pada masa itu Bandar Riau di Hulu Sungai Carang berdatangan para pedagang dari berbagai kawasan, misalnya dari Jawa, China, Benggali dan Eropa.
Menyusul semakin maju dan makmurnya Kerajaan Riau, maka Belanda yang berkedudukan di Malaka mulai bermaksud menanamkan pengaruhnya di Riau dengan taktik bersahabatan melalui perjanjian-perjanjian dagang.Pada tahun 1782 Belanda mengingkari perjanjiaan kerjasama perdagangan yang sudah dibuat.Hal inilah yang memicu terjadinya konflik antara Pihak Kerajaan Riau dengan Belanda yang pada akhirnya pecah perang. Perang pertama terjadi di perairan Teluk Riau, sekitar selat Pulau Penyengat dengan Tanjungpinang, yang ketika itu Belanda mengerahkan pasukan besar untuk memblokade dan mengalahkan Kerajaan Riau.Tapi sebaliknya, Belanda kalah dan berundur dengan sisa-sisa pasukan dalam keadaan kucar-kacir ke Melaka.
Menyusul kekalahan Belanda dalam perang tersebut, maka Sultan Mahmud Syah III sebagai Sultan atau Yang Dipertuan Besar menyepakati dengan Raja Haji selaku Yang Dipertuan Muda untuk melanjutkan perperangan dengan menyerang Belanda di Malaka. Akhirnya Sultan Mahud Syah III dan Raja Haji beserta pasukan perang Kerajaan Riau berangkat menuju Malaka.Sebelum sampai Malaka, Sultan dan pasukan singgah dan berenti di Linggi. Sultan dan Yang Dipertuan Muda, akhirnya menyepakati, bahwa Sultan atau Yang Dipertuan Besar tinggal di Linggi dan mesti  segera kembali ke pusat kerajaan di Hulu Riau, Pulau Bintan untuk memperkuat pertahanan di pusat kerajaan dan mengambil langkah-langkah tepat bila terjadi sesuatu yang tidak baik dengan Raja Haji beserta pasukannya di Malaka. Setelah keduanya bersepakat, dan Raja Haji memberi penghormatan atas Mahaduli kepada Sultan Mahmud, maka Raja Haji dengan pasukan langsung meninggalkan Linggi dan siap menyerang Belanda di Malaka. Penyerangan terjadi, perperangan pecah, dan pada tanggal 18 Juni 1784 Raja Haji tewas dalam perperangan itu, sementara Sultan Mahmud sudah kembali ke Riau untuk memperkuat pertahanan kerajaan dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan balik Belanda dari Malaka.

 Hancurkan Pasukan Belanda dan Pindah ke Lingga
Atas wafatnya Raja Haji, maka Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah melantik Raja Ali ibni Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau V.Selepas itu, Sultan Mahmud dibantu Yang Dipertuan Muda Raja Ali mempersiapkan pasukan perang Kerajaan Riau-Johor dan Pahang. Maka pada tanggal 23 Oktober 1784 Belanda pun datang untuk menyerbu pusat Kerajaan Riau di Hulu Riau, Sungai Carang.Pasukan disambut dengan perlawanan perang oleh pasukan Kerajaan Riau yang dipimpin Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) dan Raja Ali.Namun sayang pasukan Kerajaan Riau, terutama yang dipimpin Raja Ali  tidak berimbang dengan pasukan Belanda, maka Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V itupun meninggalkan Riau menuju Mempawah, Sukadana, Kalimantan. Dalam keadaan ditinggalkan oleh Raja Ali dengan pasukannya itu, maka Sultan Mahmud Syah III tetap bertahan dan akan terus melawan Belanda. Dalam keadaan yang serba sulit itupun, Sultan Mahmud mencari jalan keluar untuk menyelamatkan kedaulatan dan marwah kerajaan dari campur tangan Belanda.Maka beliau pun menempuh dengan taktik diplomasi sehingga perperangan dapat dihentikan atau dijeda untuk sementara waktu. Dalam keadaan demikian, pada akhirnya Sultan Mahmud menemukan jalan keluar, beliau harus bersekutu dengan pasukan lainnya, terutama dari Sulu, dan kawasan lainnya, sehingga perperangan dengan Belanda akan diperoleh kemenangan.
Tentang perlwananan lanjutan Sultan Mahmud Syah III kepada Belanda, sebagaimana dijelaskan Hasan Junus dalam bukunya Engku Puteri Raja Hamidah (2002), bahwa pada tanggal 19 Juni 1785 Divid Ruhde menempati pos sebagai Residen Belanda pertama di Riau dan membangun garnizun di Tanjungpinang. Pada bulan Desrmber 1785 Sultan Mahmud Syah diiringi oleh pembesar Kerajaan, yakni Bendahara, Temenggung dan Indra Bungsu berkunjung ke Malaka. Akan tetapi dalam perjalanan itu, secara rahasia Sultan Mahmud Syah III mengutus seseorang bernama Thalib mengubungi penguasa Tempasok, yang bernama Raja Ismail  untuk dapat bersekutu dan mengerahkan orang-orang Ilanun Sulu, Jolo, Balangingi untuk menyerang Belanda di Riau (Tanjungpinang). Utusan itu segera menemui Raja Ismail, sementara Sultan dan rombongan meneruskan perjalanannya ke Malaka, namun tatkala mendapat kabar dari Raja Ismail menyetujui penyerangan Belanda di Tanjungpinang, maka Sultan Mahmud Syah III dan rombongan segera kembali  ke Riau, Tajungpinang untuk bersiap dengan pasukan Kerajaan Riau-Johor dan Pahang di pusat kerajaan. Pada akhirnya,  tanggal 2 Mei 1787pasukan Ilanun sebagaimana permintaan Sultan Mahmud, tiba di Riau dan menyerang Belanda, sehingga memporak porandakan Garnizun Belanda di Tanjungpiang.
Rangkaian peristiwa sehingga pecahnya perang antara Kerajaan Riau-Johor dan Pahang dengan Belanda di Tanjungpinang, menurut laporan Belanda, E. Netscher (1870) yang diterjemahka Wan Ghalib (2002), yakni “Belanda di Johor dan Siak 1602-1865”, dijelaskan panjang lebar dari halaman 368-380. Dalam laporannya itu, dapat dibaca dan dipapahami dengan jelas, bahwa pihak Belanda yang dipimpin Residen Ruhde dan Komandan J.C. Vetter tertipu oleh taktik Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, sehingga pada akhirnya mereka (Belanda) digempur habis-habisan sampai kalah dan melarikan diri ke Malaka.
E. Netcher, menjelaskan Residen Ruhde dan Komandan J.C. Vetter datang menghadap Sultan Mahmud dengan maksud mengirimkan sedikit perbekalan seperti beras dan buah-buahan kepada orang-orang Solok (Sulu) itu agar mereka dapat meninggalkan Riau dalam keadaan yang memadai. Sultan memberikan  mereka dengan satu pikul beras dan berang-barang perlengkapan lainnya kepada Raja Alam dan Raja Muda yang disambut dengan rasa terimakasih yang sepantasnya.
Pada tanggal 10 Mei pukul 7 malam, terdengar suara orang banyak rebut-ribut bunyinya di luar benteng sepanjang pantai.Subuh hari tanggal 13 Mei musuh menyusup ke sebelah Selatan Terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang tapi dihadang oleh pencalang bernama Bangka bersama sebuah slup bernama Johanna menghala ke Batu Itam di pengkolan sebelah Selatan Tanjungpinang.
Pukul 7 malam—musuh pun maju dari arah gunung merapat ke pinggir pencalang dan slup sehingga pertempuran tak terhindar lagi.Di Pencalang Bangka terdapat Residen D. Ruhde dan Komandan J.C. Vetter dan beberapa opsir.Lalu dua buah perahu musuh mendekati selat Singapura, sementara kapal Bangka terus menuju Malaka.Sementara itu Slup Johanna tetap tinggal di Riau dan tersadai di pasir ditawan oleh musuh-musuh itu. Pejabat pemerintahan di Melaka berkesimpulan—Sultan Mahmud—dengan pasukan Sulu itu bersekongkol melaksanakan kehendaknya itu (Netcher:370-171).
Berkenaan dengan perperangan antara Kerajaan Melayu di bawah pimpina Sultan Mahmud Syah III dengan Belanda kali itu, dijelaskan Raja Ali Haji dalamTuhfat Al Nafis. Maka banyaklah (Holanda-holanda itu) mati lalu (ia) turun ke kecinya (mana-mana yang hidup), ada yang turun ke sebelah Semangka berlayar ia ke Malaka, mana-mana yang hidupnya. (Kata satu kaul adalah keci itu sangkut maka dikerumunkan oleh perangai-perangai itu. Maka alahlah keci itu dan kubu di Tanjungpinang pun dapatlah dan seekor Holanda pun tiada lagi tinggal di dalam negeri Riau lagi) (1991: hlm. 432).
Kekahalan Belanda dalam perperangan pada tanggal 13 Mei 1787, itu menurut Gubenur Malaka Pieter Gerardus de Bruijin sebagaimana dilaporkan E. Netcher, telah membuktikan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan sekutunya adalah musuh Belanda. Bahkan Sultan Mahmud telah berupaya untuk melumpuhkan Belanda bukan hanya melibatkan beberapa kerajaan Melayu dan Ilanun, dan pada selanjutnya juga adalah mengajak Inggris. Dalam laporan Belanda yang ditulis E. Netcher, itu ditegaskan bahwa permusuhan Sultan itu dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang beliau kirimkan kepada kapten Inggris Francis Light di Pulau Pinang tanggal 10 November 1787. Adapun surat tersebut ditulis Sultan Mahmud Syah III pada tanggal 29 Muharram tahun 1202 Hijrah 10 November 1787 Masehi.
Setelah berhasil memukul kalah pasukan Belanda dan mengusir Residen Belanda dari Tanjungpinang, maka Sultan Mahmud mencari jalan keluar agar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang tidak dapat dikuasai Belanda. Maka beliau berpendapat dan  memutuskan pusat kerajaan mesti dipindahkan dari Hulu Riau, Sungai Carang ke kawasan lain, dan pilihannya jatuh ke Lingga. Menurut Tuhfat Al Nafis, maka musyawarahlah Baginda (Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Pen.) dengan Raja Indra Bungsu, dan Datuk Bendaha sekalian. (Maka) (titah Baginda) “Tiadalah terhemat duduk di dalam negeri Riau sebab Holanda-Holanda itu tentu datang semula ia melanggar negeri Riau (padahal di dalam negeri) kekuatannya sudah tiada lagi.Jikalau begitu baik kita pindah ke Lingga”.Maka sembah segala orang besar-besar-nya, “mana-mana titah sahaja (lah) (adanya).” Sahdan Baginda pun (bersiaplah beberapa kelengkapan) berangkat (berlayar) ke Lingga bersama-sama Raja Indra Bungsu serta segala orang Melayu/ sertalah/ peranakan Bugis kira-kira lebih 200 buah perahu (yang di dalam Riau itu besar-kecil yang) mengiringkan Baginda (berangkat) pindah ke Lingga itu. Syahdan adapun suku-suku (/Melayu/ pihak Datuk), Bendahara) (itu) berlayarlah (ia) ke Pahang kira-kira tengah 200 perahu-perahu (besar kecil dan setengah suku-suku Melayu ke Terengganu—dan tiada lagi tinggal di dalam negeri Riau (Matheson Hooker, 1991, Hlm: 433).
Perpindahan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan segenap pembesar dan sekalian rakyat Kerajaan Riau-Johor dan Pahang ke Lingga dan ke berbagai kawasan itu, terjadi pada pahun 1787 itu juga. Sultan Mahmud membangun Lingga  sebagai kawasan baru menjadi pusat Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, sehingga kerajaan itupun disebut dengan nama baru yakni Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Sultan Mahmud Syah III membangun Lingga, dan pertambangan Timah di Singkep.Beliau pun memposisikan diri sebagai Sultan yang bergerilya di laut untuk terus melakukan perlawanan dengan Belanda.Beliau dikenal pula sebagai Sultan yang bersekutu dengan bangsa-bangsa Lanun dalam hal mengganggu kepentingan Belanda di perairan Selat Malaka.Sultan Mahmud dengan kekuatannya kemudian keluar dari Lingga dan senantiasa “merayau” dan mengacau aktivitas Belanda di laut.Sementara itu beliau bukan hanya menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, tetapi mengajak Inggris untuk mengusir Belanda dari Malaka.
Tentang hal itu sebagaimana dijelaskan E. Netcher dalam laporannya untuk kepentingan Belanda, bahwa Sultan Mahmud rupanya telah membuat suatu perkiraan yang nampaknya cukup menguntungkan dirinya yaitu dengan mengirim surat meminta bantuan kepada Gubernur Jenderal kompnei Inggeris di Benggala, sementara bersekutu dengan Sultan Ibrahim dari Selangor dan nenendanya Sultan Mansur Syah dari Terengganu.
Masih menurut laporan E. Netcher, Gubernur dengan Dewan di Melaka sudah hendak menghukum Sultan Mahmud Syah III, tetapi malahan meminta Sultan Terengganu dan Sultan Selangor menjadi perantara untuk berunding dengan Sultan Mahmud sebagaimana keputusan yang dihasilkan Pemerintahan Tinggi Hindia (Batavia), antara lain untuk menempatkan Sultan Mahmud di Lingga dan dari sana ke Pahang. Namun sayang, Sultan Mahmud itu sudah berada di sana sejak awal tahun 1788. Juga dikatakan bahwa Sultan Mahmud itu telah mematai-matai Melaka dalam kunjungannya ke sana. Ada laporan yang mengatakan bahwa Sultan itu dalam bulan Maret pergi berkelana ke Lingga dengan memakai dua buah penjajab besar yang juga dipersenjatai (Ghalib, 2002: 374-375).

Isteri dan Anak Sultan Mahmud

Pada tanggal 29 Mei 1795 Belanda dan Inggris menyerah kepada Sultan Mahmud sehingga kekuasaan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah berlaku seperti zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yakni Riau-Johor dan Pahang, dan kemudian berubah nama menjadi Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta rantau takluknya. Berkenaan dengan kegigihan dan ketangguhan serta keuletan Sultan Mahmud Syah III berjuang melawan Belanda dengan Perang Gerilya Laut, perlu dijelaskan sekilas pintas tentang isterinya dan anak-anaknya.
Adalah Sultan Mahmud Ri’ayat Syah semasa hidupnya melakukan empat kali pernikahan, yang dapat hidup rukun damai bersama empat isterinya. Pernikahan yang paling bersejarah dan dalam rangka semakin memperkokoh persaudaraan Melayu-Bugis, maka pada tahun 1803 Sultan Mahmud Riayat Syah menikah untuk yang keempat kalinya yakni dengan Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji dan menghadiahkan Pulau Penyengat sebagai “Maskawin” kepada Raja Hamidah. Pulau Penyengat pun dibangun sebagai sebuah kota penting dalam Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang.
Perlu dijelaskan tentang pernikahan “persaudaraan” demi keutuhan kerajaan antara Sultan Mahmud dengan Egku Puteri. Menurut Hasan Junus, tak hanya dijelaskan oleh sumber pribumi, yang antara lain Raja Ahmad dan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, tetapi bahkan dapat  dirujuk sumber yang ditulis oleh pihak Belanda, yakni E. Netscher dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 Histische Beschrijving (Burining & Wijt, Batavia, 1879, hlm. 246). Katanya, Den 12den Januarij 1812 overleed Sulthan Mahmoed. Zijne opvolging was de aanleiding tot belangrijke gebeurtenissen in het tijk van Djohor.Deze vorst was gehuwd met Ongkoe Poewan, eene dochter van den Bandahara van Pahang. Na verloop van eenigen tijd, gene kinderen bij haar bebbende, trouwede hij Intjeh Makoh, eene dochter van eenen Boegies, genamd Daing Matoerang of Intjeh Djafar. Het huwelijk werd ingezegend door Imam Said; de getuigen er van waren Mohammad Tahir en Lebei Moestafa, met nog vif andere fatsoenlijke Lieden. Intjeh Makoh baarde eenen zoon, genamd Togkoe Hoesin of Tongkoe Soeloeng.
Eenigen tijd daarna, in 1780, huwde Sulthan Mahmoed Intjeh Mariam, eene dochter van den Bandar Hasan. Dit huwelijk was voorgesteld door den onderkoning Radja Hadji. Het werd ingezegend te zijnen huize, door Hadji Jakoeb, in tegenwoordigheid van Datoe Soeleeatang Ibrahim en den Sabandar Mohammad. Intjeh Mariam baardeen zoon, genamd Tongkoe Abd’oerrahman.
Soelthan Mahmoed huwde ten vierde male met Tongkoe Hamidah of Ongkoe Poetri, eene dochter van wijlen Radja Hadji. Onderkoning van Riouw, Zij bleef kindeloos.
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, kata Hasan Junus, adalah Sultan Mahmud meninggal dunia pada 12 Januari 1812. Penggantian sultan sesudahnya merupakan suatu kejadian yang sangat penting bagi Kerajaan Johor.
Raja ini menikah dengan Engku Puan, putri Bendahara Pahang. Dari perkawinan ini tiada terdapat keturunan, lalu beliau menikah pula dengan Encik Makoh, anak seorang Bugis yang bernama Daing Maturang atau Encik Jaafar. Pernikahan dilaksanakan oleh Imam Said dengan saksi-saksi yang terdiri atas Muhammad Tahir dan Lebai Mustafa serta lima orang patut-patut lainnya. Encik Makoh melahirkan seorang putera yang diberi nama Tengku Husin alias Tengku Sulung.
Suatu masa yang lain, pada 1780, beliau menikah pula dengan Encik Maryam, anak Datuk Bandar Hasan. Perkawinan ini dilaksanakan atas usul Raja Haji. Imam nikahnya ialah Haji Yaakub, dengan para saksi yang terdiri atas Datuk Suliwatang Ibrahim dan Syahbandar Muhammad. Encik Maryam melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Abdurrahman.
Sultan Mahmud menikah untuk keempat kalinya dengan Tengku Hamidah atau Engku Puteri, anak dari Raja Haji yang menjadi Raja Muda pada masa itu. Dari perkawinan ini tidak ada keturunan (Junus, 2002:13-14).
Menurut Buyong AdilSejarah Johor, Sultan Mahmud Syah III menikah dengan Raja Hamidah (disebut juga Engku Puteri) anak almarhum Raja Haji Marhum Telok Ketapang, berlangsung dalam tahun 1803 dan diam di Pulau Penyengat, dan baginda pun menyerahkan Pulau Penyengat itu menjadi hak milik Raja Hamidah. (Adil, 1971:153-154).
Kedaulatan negeri Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang tetap wujud, kemakmuran terwujud, kemajuan di bidang tamadun Melayu dicapai derngan gemilang di bawah pimpinan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud  Riayat Syah. Beliau adalah satu-satunya Sultan yang berkuasa terlama dalam perjalanan Kerajaan Melayu sejak Kerajaan Bintan, Temasik (Singapura), Malaka, Johor dan Riau, yakni lebih daripada 50 tahun. Hebat dan mengagumkannya beliau dilantik menjadi Sultan pada usia balita, kurang daripada 2 tahun, tetapi selama beliau berkuasa tidak pernah terjadi satu kalipun pemberontrakan, perpecahan di antara keluarga dan poetinggi negeri. Beliau betul-betul handal dan terdepan menjadi orang besar pemerastu Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Beliau tutup usia pada tanggal 12 Januari 1812 di Daik Lingga, dalam usia 52 tahun. Sultan Mahmud semasa hidupnya, oleh pembesar kerajaan dan rakyatnya terutama setelah berkedudukan di Lingga diberi gelar “Paduka Lingga” dan karena bergrilya di luat mengacau laut dari Laut Riau sehingga Melaka dan Laut Jawa, maka dikatakan oleh Belanda sebagai “Raja Lanon”. Setelah beliau wafat, beliau digelari Marhum Masjid Lingga.

Belanda dan Inggris Belah Riau

Sepeninggal Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud, maka Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan  Pahang dengan Yang Dipertuan Muda Raja Ja’far ibni Raja Haji.Sejalan dengan itu, Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggrissama-sama hendak menguasai wilayah Kerajaan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Pada gilirannya terjadilah “Traktat London” (perjanjian London) 1824 antara Belanda dengan Inggris di Inggeris. Di antara isi perjanjian itu adalah membelah keutuhan wilayah Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang.Wilayah Riau-Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya dibawah administrasi Belanda.Sedangkan wilayah Johor-Pahang, termasuk Singapura di bawah kekuasaan Inggris.
Untuk merealisasikan pembagian wilayah itu, maka Belanda mengakui Sultan Abdul Rahman sebagai Yang Dipertuan Besar atau Sultan hanya untuk wilayah Riau-Lingga saja (1812-1819). Sementara Inggris pula pada akhirnya menjemput Tengku Husin (Tengku Long) putra Sulung Sultan Mahmud Ri’ayat Syahyang berada di Pulau Penyengat dan dibawa ke Singapura (Temasik) dan dilantik menjadi Sultan Singapura dengan wilayahnya Singapura dan Johor, dengan gelar Sultan Husin Syah (berkuasa 1819-1835). Sedangkan Pahang dan sekitarnya memisahkan diri dan menjadi Kerajaan tersendiri dengan Rajanya adalah Sultan  Ahmad (yang semula adalah Bendahara Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang).  


DAFTAR PUSTAKA


Abubakar, Tengku Ahmad & Hasan Junus. 1972. Sekelumit Kesan Peninggalan     Sejarah Riau. Daik-Lingga, Asmar Ras.

Abrus, Rustam S., dkk. (Penyunting). 1988. Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784). Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
Adil, Haji Buyong. 1971. Sejarah Johor. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka        Kementerian Pelajaran Malaysia.

Ahmad, A. Samad (Penyelenggara). 1985. Kerajaan Johor-Riau, Kuala Lumpur,   Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.

Andaya, B.W. 1987. Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj. Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,Kementerian Pendidikan Malaysia.
Andaya, B.W. 1997. Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in Historical Context, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, Vol. 153, hlm. 483—508.
Fitri, Raja Suzana (Editor). 2002. Bahana Ilmu Setanggi Kata (Kumpulan Cakap Rampai Raja     Hamzah Yunus. Tanjungpinang, Bagian Organisasi Pemda Kepulauan Riau.

Galba, Sindu, dkk. 2001. Sejarah Kerajaan Riau Lingga, Tanjungpinang, Bappeda Kabupaten     Kepulauan Riau dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Ghalib, Wan, dkk. (Penerjemah). 2002. Belanda di Johor dan Siak 1602-1865 Lukisan Sejarah.    Siak, Pemerintah Kabupaten Siak & Yayasan Arkeologi dan Sejarah “Bina Pusaka”.

Ghazali, Abdullah Zakaria. 1997. Istana dan Politik Johor (1835-1885), Kuala Lumpur, Yayasan Penataran Ilmu.

Hooker, Virginia Matheson. 1991.Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. 
Husain, Shaharom. 1995. Sejarah Johor Kaitannya dengan Negeri Melayu, Kuala Lumpur, Fajar Bakti SDN.BHD.

Ibrahim, Abdul Kadir, Yussuwadinata, Raja Malik Hafrizal & T.M. Fuad. 2007. Riwayat Singkat             Pahlawan Nasional Raja Haji Fisabilillah. Tanjungpinang, Dinas Kebudayaan dan     Pariwisata-Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Junus, Hasan, dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia.      Pekanbaru, Unri Press & Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Junus, Hasan. 2002. Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau. Pekanbaru, Unri Perss.

Junus, Hasan. 2000. Raja Haji Fisabilillah Hanibal dari Riau. Tanjungpinang, Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Kepulauan Riau.

Liamsi, Rida K. 2007. Bulang Cahaya, Pekanbaru, Yayasan Sagang.

Liamsi, Rida K. 2009. Engku Puteri (Part III) dalam http://www.erdeka.com.

Liamsi, Rida. K. 1989. Tanjungpinang Kota Bestari. Tanjungpinang: Pemerintah Kotif Tanjungpinang dan             Lembaga Studi Sosial Budaya Tanjungpinang.
Lutfi, Muchtar. 1997. Sejarah Riau. Pekanbaru: Pemda Tingkat I Riau.
Matheson, Virginia. 1982. “Pengenalan,” dalam Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung       Malaysia. Yogyakarta, Mitra Abadi.

Netscher, E. 1870.De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865. Batavia: Bruijning en Wijt.
Netscher, E (Penerjemah: Wan Ghalib). 2002. Belanda di Johor dan Siak 1602-1865, Kabupaten Siak, Pemerintah Daerah Kabupaten Siak & Yayasan Arkeologi dan Sejarah “Bina    Pusaka”.

Nordin, Mardiana. 2008. Politik Kerajaan Johor 1718-1862. Johor Bahru, Yayasan Warisan         Johor.

Pemerintah  Propinsi  Riau.1993. Dari Kesultanan Melayu Johor Riau ke Kesultanan Melayu Lingga Riau. Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Perret, Daniel.1998.Sejarah Johor-Riau-Lingga sehingga 1914: Sebuah Esei Bibliografi.Ecole francais d’Extreme-Orient: Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan Malaysia.
Raja Ahmad dan Raja Ali Haji. 1982. Tuhfat al-Nafis, dalam Virginia Matheson (Ed.). Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Ricklefs, M.C (Gadjah Mada University Press). 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta,             Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tuhfat Al-Nafis. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji. 1982. Fajar Bakti SDN.BHD: Kuala Lumpur.
Sejarah Malaysia. Barbara Watson Andaya dan Leonard Y Andaya. 1982. Macmilan Publisher (M) Sdn.Bhd Syarikat dan Cawangan di seluruh dunia: Malaysia.

Surat-surat perdjanjian antara kesultanan Riau dengan Pemerintahan V.O.C dan Hindia Belanda 1784—1909. 1970. Arsip Nasional Republik Indonesia: Jakarta.

Warisan Sejarah Johor. 1983. M.A. Fawzi Basri. Persautuan Sejarah Malaysia: Kuala Lumpur.

Jejak Nusantara Ketahanan Budaya Dalam Memperkokoh Karakter Bangsa. Jurnal Sejaarah dan Nilai Budaya. 2013. Kasijanto. Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya: Jakarta.

Tuhfat Al-Nafis, Naskah Terengganu. 1991. The House Of Tengku Ismail.
Bukan 350 Tahun Dijajah. 2012. G.J Resink. Komunitas Ba











Tidak ada komentar: